Bursa Efek Indonesia mencatatkan terdapat 11 perusahaan yang akan IPO dan masih dibuka masa penawarannya pada Juni lalu hingga Juli tahun ini. Dari 11 perusahaan tersebut, Moratelindo (MORA) menjadi salah satu calon emiten yang bergerak dibidang infrastruktur yang akan IPO, bagaimana potensi bisnisnya? Simak beberapa fakta-faktanya
Akan IPO Di Harga Rp 368-396, Untuk Apa Dananya?
Moratelindo akan listing di Bursa Efek Indonesia dengan kode ticker MORA dengan harga penawaran awal sebesar Rp368-396/ lembar sahamnya. Melalui IPO tersebut, MORA berpotensi mendapatkan dana segar maksimal Rp 1,03 triliun dari penerbitan 2,6 miliar saham. MORA berencana menggunakan 85% dana hasil IPOnya untuk investasi bisnis seperti pengembangan backbone dan Access termasuk perangkat dan infrastruktur penunjang data center.
BACA JUGA: Begini Cara Beli Saham IPO
Saham MORA direncanakan akan mulai diperdagangkan pada tanggal 4 Agustus tahun ini, dimana BNI Sekuritas dan Sucor Sekuritas yang akan menjadi pelaksana emisi IPO tersebut.
Punya Afiliasi dengan Smartfren (FREN)
Moratelindo
(MORA) merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang infrastuktur
telekomunikasi dengan segmen bisnis utamanya di bidang serat optik (backbone) telah menyebar sepanjang
27.561 km di seluruh Indonesia per akhir tahun 2021, menyambungkan antara node
dengan node dengan pelanggan dari perusahaan operator, internet service provider, dan enterprise.
Segmen tersebut merupakan “tulang punggung” (backbone) dari penyebaran signal telekomunikasi di Indonesia yang kebutuhannya semakin tinggi seiring dengan digitalisasi.
Melihat kegiatan operasional yang memiliki keterkaitan, Smartfren (FREN) mengakuisisi 20,5% kepemilikan MORA pada Mei 2021 lalu melalui anak usahanya bernama PT Smart Telecom untuk sinergi bisnis dan pengembangan usaha di masa mendatang. Melalui IPO MORA, kepemilikan Smart Telecom akan terdilusi menjadi 18,25% karena penambahan kepemilikan investor publik sebesar 11,0%.
BACA JUGA: Begini Cara Baca Prospektus IPO
Sebagai informasi, FREN merupakan satu-satunya layanan telekomunikasi di Indonesia yang sepenuhnya beroperasi di sinyal 4G dan telah mengumumkan potensi peluncuran 5G pada tahun ini. Dimana keduanya membutuhkan infrastruktur fiber optik untuk memaksimalkan layanannya.
Digitalisasi Dorong Kebutuhan Fiber Optik
Perkembangan
digitalisasi di Indonesia diperkirakan akan terus bertumbuh kedepan. Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian mengungkapkan pada 11 Juli lalu di Forum
Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia 2022 bahwa ekonomi digital
Indonesia berpotensi tumbuh menjadi US$146 miliar di tahun 2025 dan bisa
kembali meningkat di 2030 menjadi Rp4.531 triliun atau setara dengan US$312
miliar.
Potensi
pertumbuhan digitalisasi tersebut tidak lepas dari sebaran dan kualitas
infrastruktur yang mendukung. Perluasan jaringan fiber optik sebagai backbone dari jaringan telekomunikasi
akan sangat dibutuhkan kontribusinya, melihat tingkat penetrasi 4G di Indonesia yang masih 66%.
Hal ini menandakan peluang ekspansi bisnis MORA di industri fiber optik yang masih luas. Sebagai catatan MORA telah mencatatkan pertumbuhan penetrasi jaringan fiber optik 2.350 km dan 1.610 km pada tahun 2020 dan 2021.
Kinerja Historis dan Valuasi MORA
Kinerja keuangan historis MORA relatif tumbuh variatif, dimana pada tahun 2021 MORA berhasil mencatatkan pendapatan Rp4,18 triliun, meningkat 11,0% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun laba tahun berjalan mengalami penurunan 1,2% menjadi Rp671 miliar karena meningkatnya beban usaha dan beban bunga. Di sisi arus kas, MORA mencatatkan arus kas operasional positif selama 3 tahun terakhir walaupun mengalami penurunan di tahun 2021 sebesar 13,3% karena peningkatan pembayaran kepada pemasok.
Sedangkan secara
valuasi, kami menggunakan EV/EBITDA model untuk menilai valuasi MORA. Dimana
dengan harga atas di Rp368/saham dan asumsi EBITDA pada tahun 2021 maka MORA
akan diperdagangkan pada valuasi 8,9x, dimana valuasi tersebut cukup terdiskon
dibandingkan industri menara telekomunikasi yang memiliki rata-rata 11,2x
EV/EBITDA.
Risiko Balance Sheet Saat Suku Bunga Naik
Sebagaimana perusahaan manufaktur pada umumnya, MORA memiliki risiko utang yang lebih besar dibanding industri lain. Dimana dengan IPO di Rp368/saham, MORA memiliki debt to equity ratio (DER) sebesar 1,4x dengan 68% dari Rp7,5 triliun utang pembiayaan memiliki bunga floating. Sehingga risiko utang akan semakin besar ketika suku bunga mengalami kenaikan dengan potensi biaya bunga yang ikut meningkat.
Mau dapat trading signal real-time serta strategi tradingnya?
Dengan menjadi VIP member, kamu bisa menikmati trading signal, referensi saham, konten edukasi, analisis, research report, tanya-jawab saham intensif, morning dan day briefing, dan seminar rutin setiap akhir pekan.
Klik di sini untuk upgrade menjadi VIP member Emtrade.
-AVV-
Setiap saham yang dibahas menjadi case study, edukasi, dan bukan sebagai perintah beli dan jual. Trading dan investasi saham mengandung risiko yang menjadi tanggung jawab pribadi. Emtrade tidak bertanggung jawab atas setiap risiko yang mungkin muncul.
https://emtrade.id/blog/9033/perusahaan-afiliasi-fren-akan-ipo-gimana-potensinya
Update Data Makro: Inflasi AS & China dan IKK Indonesia, Apa Implikasinya?
Keluar dari MSCI, Indeks FTSE Siap Tampung CUAN
Kembangkan Bisnis FTTH, ISAT Akuisisi Pelanggan MNC Play
Adu Kinerja Marketing Sales Emiten Properti di Kuartal III/2023, Siapa Juaranya?
Aplikasi edukasi saham, bisa tanya jawab, dapat referensi saham, praktis, membuatmu bisa langsung praktek
Terdaftar dan Diawasi
© 2024, PT Emtrade Teknologi Finansial