Dampak Kondisi Ekonomi AS ke Indonesia
https://emtrade.id/blog/11074/dampak-kondisi-ekonomi-as-ke-indonesia-
Ekonomi Amerika
Serikat sedang mengalami guncangan besar. Mulai dari inflasi yang panas, suku
bunga yang tinggi, krisis perbankan, sampai potensi gagal bayar utang.
Sebagai negara
adidaya dunia, pastinya guncangan ekonomi di sana akan sampai kerasa di seantero
dunia. Namun, apakah Indonesia bakal kena dampak besarnya juga?
Seperti kita tahu
bahwa Bank Sentral AS atau Federal Reserves/The Fed agresif banget buat naikin
suku bunganya. Niatnya mau turunin angka inflasi Amerika Serikat yang panas
banget.
Hasilnya 10 bulan berturut-turut The Fed menaikkan suku bunga hingga ke 5% -5,25%. Tingkat suku bunga ini juga tertinggi sejak 2007.
source : Tradingeconomic
Alih-alih inflasi
turun, keputusan The Fed ini malah makin bikin AS dekat ke resesi. Ada yang
berpendapat bahwa resesi adalah jalan ninja untuk turunin inflasi.
Jadi jika ada
resesi, pastinya daya beli lemah karena ekonomi gak jalan dan akhirnya banyak
pengangguran. Nah setelah itu, inflasi bakal turun dengan sendirinya.
Di atas kertas, memang kebijakan moneter ala The Fed jadi lawan sepadan bagi inflasi. Tapi masalahnya adalah penyebab inflasi di AS adalah harga minyak dan komoditas pangan yang meledak pada 2021 - 2022 sehingga harga barang pun melonjak. Sehingga saat komoditas melandai, tren inflasi pun ikut turun.
source : Tradingeconomic
Ini yang kemudian
membuat para investor berharap The Fed mengubah arah pandangnya dari agresif
naikin suku bunga jadi lebih pasif.
Masalahnya makin
rumit saat data-data tenaga kerja AS dirilis. Hasilnya adalah tenaga kerja AS
masih solid terjaga.
Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS
melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000
tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm
payrolls). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street
sebanyak 180.000 orang.
Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%.
Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran
3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.
Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.
source : Tradingeconomic
Harusnya data tenaga kerja yang apik ini bikin investor optimis dong
karena artinya ekonomi AS kuat. Eitss… kenyataannya gak seperti itu.
Kondisi tenaga kerja yang baik ditakutkan akan mengerek inflasi AS yang
lagi trennya turun.
Kalo banyak yang kerja, artinya bakal dapet pendapatan. Jadinya daya
beli juga makin tinggi. Ini yang bakal jadi trigger
inflasi panas lagi.
Ujung-ujungnya The Fed garang lagi naikin suku bunga. Kalo sudah begitu
jadinya AS bener-bener bakal resesi deh.
Dilalahnya
kebijakan The Fed ini malah bikin perbankan di Amerika Serikat bangkrut
berjamaah.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah
mengatakan bahwa suku bunga memegang peranan yang sangat besar di AS. Kebijakan
moneter dalam bentuk naik turunnya suku bunga berdampak langsung ke sistem
perbankan dan kehidupan masyarakat.
"Ketika suku bunga naik begitu tinggi, yang terjadi sekarang ini,
masyarakat dan perbankan benar-benar menderita, susah bernapas. Dalam jangka
pendek masyarakat dan perbankan masih bisa tahan. Tapi setelah periode yang
cukup panjang, satu persatu rontok. Sebagian masyarakat tidak mampu membayar
cicilan hutang," ujarnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (2/5/2023).
Akibatnya, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank
meningkat, yang kemudian akan menyebabkan kebangkrutan, kata Piter.
Urusan suku bunga belum selesai, eh ketambahan
Amerika Serikat terancam gagal bayar utang.
AS adalah negara gali lobang, tutup lobang. Sejak
1957 AS tidak pernah lagi mengalami posisi surplus dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN). Sejak saat itu, AS terus mengalami defisit APBN, di
mana untuk membiayai belanja perlu menambah utang melalui penerbitan Treasury
misalnya.
Pembayaran bunga utang yang ada sebelumnya juga
dilakukan dengan menerbitkan surat utang lagi. Ini yang terus menerus dilakukan
AS.
Utang AS diketahui mencapai US$31 triliun atau
sekitar Rp 460.000 triliun (kurs Rp 14.900/US$). Sedangkan batas utang AS
adalah US$31,4 triliun.
Ini yang kemudian membuat DPR AS didesak untuk
segera menaikkan plafon utang AS. Kalau tidak, artinya nanti AS gak bisa bayar
sehingga dampaknya ekonomi AS akan berantakan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Amerika Serikat (AS) Janet
Yellen menyebut kegagalan untuk menaikkan plafon utang akan menyebabkan
"penurunan ekonomi yang tajam".
"Proyeksi kami saat ini adalah bahwa pada awal Juni, suatu hari
akan tiba ketika kami tidak dapat membayar tagihan kami kecuali Kongres
menaikkan plafon utang," kata Yellen dalam program tersebut, Minggu,
(7/5/2023), sebagaimana diwartakan CNBC
International.
"Itu adalah sesuatu yang saya sangat mendesak Kongres untuk
melakukannya," tegasnya.
Lalu apa
dampaknya ke Indonesia?
Secara langsung kondisi di AS berdampak pada pasar
keuangan Indonesia. Misalnya saja IHSG yang sejauh ini masih belum mampu
menembus level 7.000 lagi dan geraknya bisa dikatakan volatil karena
kekhawatiran investor.
Di sisi lain, rupiah malah menguat karena krisis
perbankan membuat indeks dolar turun signifikan sehingga membuat rupiah
menguat.
Selain itu dari dalam negeri, data cadangan devisa (Cadev) bisa mempengaruhi pergerakan rupiah.
Pada bulan lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per
akhir Maret 2023 adalah sebesar US$ 145,2 miliar, naik US$ 4,9 miliar dari
Februari. Cadev tersebut sudah naik lima bulan beruntun dengan total US$ 15
miliar, dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar.
Kenaikan Cadev artinya BI punya lebih banyak amunisi
untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak. Stabilitas rupiah menjadi
penting bagi investor asing untuk masuk ke pasar saham Indonesia, sebab risiko
kerugian kurs menjadi bisa diminimalisir.
Nah selain pasar uang, aktivitas perdagangan
Indonesia juga bisa keganggu. Terutama ekspor produk Indonesia ke AS.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai
ekspor Indonesia pada Maret 2023 mencapai USD 23,50 miliar atau naik 9,89
persen dibanding ekspor Februari 2023. Dibandingkan, Maret 2022, nilai ekspor turun 11,33 persen. Adapun
ekspor nonmigas ke Amerika Serikat termasuk terbesar. Tercatat ekspor nonmigas
Maret 2023 ke Amerika Serikat mencapai USD 1,97 miliar.
Jadi,
kondisi ekonomi AS yang carut marut ada plus dan minusnya. Sehingga investor
harus senantiasa mencermati pasar dengan seksama dan waspada di tengah kondisi
ekonomi yang labil ini.
Mau tahu prospek strategi trading saham selengkapnya? Upgrade jadi VIP member untuk menikmati semua fitur Emtrade.
Upgrade jadi VIP member untuk menikmati semua fitur Emtrade. Dengan menjadi VIP member, kamu bisa menikmati trading signal, referensi saham, konten edukasi, analisis, research report, tanya-jawab saham intensif, morning dan day briefing, dan seminar rutin setiap akhir pekan.
Klik di sini untuk upgrade menjadi VIP member Emtrade.
https://emtrade.id/blog/11074/dampak-kondisi-ekonomi-as-ke-indonesia-
Aplikasi edukasi saham, bisa tanya jawab, dapat referensi saham, praktis, membuatmu bisa langsung praktek
Terdaftar dan Diawasi
© 2023, PT Emtrade Teknologi Finansial