Insight
Teknikal
Pemula
Fundamental
Psikologi Trading
Manajemen Risiko
Perencanaan Keuangan
Emtradepedia
premium-iconInsight

Dampak Kondisi Ekonomi AS ke Indonesia

9 Mei 2023, 16:04 WIB
Bagikan
whatsapp
Facebook
Twitter
linkedin
telegram
banner-image

Ekonomi Amerika Serikat sedang mengalami guncangan besar. Mulai dari inflasi yang panas, suku bunga yang tinggi, krisis perbankan, sampai potensi gagal bayar utang.

Sebagai negara adidaya dunia, pastinya guncangan ekonomi di sana akan sampai kerasa di seantero dunia. Namun, apakah Indonesia bakal kena dampak besarnya juga?

Seperti kita tahu bahwa Bank Sentral AS atau Federal Reserves/The Fed agresif banget buat naikin suku bunganya. Niatnya mau turunin angka inflasi Amerika Serikat yang panas banget.

Hasilnya 10 bulan berturut-turut The Fed menaikkan suku bunga hingga ke 5% -5,25%. Tingkat suku bunga ini juga tertinggi sejak 2007.


source : Tradingeconomic

Alih-alih inflasi turun, keputusan The Fed ini malah makin bikin AS dekat ke resesi. Ada yang berpendapat bahwa resesi adalah jalan ninja untuk turunin inflasi.

Jadi jika ada resesi, pastinya daya beli lemah karena ekonomi gak jalan dan akhirnya banyak pengangguran. Nah setelah itu, inflasi bakal turun dengan sendirinya.

Di atas kertas, memang kebijakan moneter ala The Fed jadi lawan sepadan bagi inflasi. Tapi masalahnya adalah penyebab inflasi di AS adalah harga minyak dan komoditas pangan yang meledak pada 2021 - 2022 sehingga harga barang pun melonjak.  Sehingga saat komoditas melandai, tren inflasi pun ikut turun.


source : Tradingeconomic

Ini yang kemudian membuat para investor berharap The Fed mengubah arah pandangnya dari agresif naikin suku bunga jadi lebih pasif.

Masalahnya makin rumit saat data-data tenaga kerja AS dirilis. Hasilnya adalah tenaga kerja AS masih solid terjaga.

Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.

Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.

Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.


source : Tradingeconomic

Harusnya data tenaga kerja yang apik ini bikin investor optimis dong karena artinya ekonomi AS kuat. Eitss… kenyataannya gak seperti itu.

Kondisi tenaga kerja yang baik ditakutkan akan mengerek inflasi AS yang lagi trennya turun.

Kalo banyak yang kerja, artinya bakal dapet pendapatan. Jadinya daya beli juga makin tinggi. Ini yang bakal jadi trigger inflasi panas lagi.

Ujung-ujungnya The Fed garang lagi naikin suku bunga. Kalo sudah begitu jadinya AS bener-bener bakal resesi deh.

Dilalahnya kebijakan The Fed ini malah bikin perbankan di Amerika Serikat bangkrut berjamaah.

Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan bahwa suku bunga memegang peranan yang sangat besar di AS. Kebijakan moneter dalam bentuk naik turunnya suku bunga berdampak langsung ke sistem perbankan dan kehidupan masyarakat.

"Ketika suku bunga naik begitu tinggi, yang terjadi sekarang ini, masyarakat dan perbankan benar-benar menderita, susah bernapas. Dalam jangka pendek masyarakat dan perbankan masih bisa tahan. Tapi setelah periode yang cukup panjang, satu persatu rontok. Sebagian masyarakat tidak mampu membayar cicilan hutang," ujarnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (2/5/2023).

Akibatnya, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank meningkat, yang kemudian akan menyebabkan kebangkrutan, kata Piter.

Urusan suku bunga belum selesai, eh ketambahan Amerika Serikat terancam gagal bayar utang.

AS adalah negara gali lobang, tutup lobang. Sejak 1957 AS tidak pernah lagi mengalami posisi surplus dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sejak saat itu, AS terus mengalami defisit APBN, di mana untuk membiayai belanja perlu menambah utang melalui penerbitan Treasury misalnya.

Pembayaran bunga utang yang ada sebelumnya juga dilakukan dengan menerbitkan surat utang lagi. Ini yang terus menerus dilakukan AS.

Utang AS diketahui mencapai US$31 triliun atau sekitar Rp 460.000 triliun (kurs Rp 14.900/US$). Sedangkan batas utang AS adalah US$31,4 triliun.

Ini yang kemudian membuat DPR AS didesak untuk segera menaikkan plafon utang AS. Kalau tidak, artinya nanti AS gak bisa bayar sehingga dampaknya ekonomi AS akan berantakan.

Menteri Keuangan (Menkeu) Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menyebut kegagalan untuk menaikkan plafon utang akan menyebabkan "penurunan ekonomi yang tajam".

"Proyeksi kami saat ini adalah bahwa pada awal Juni, suatu hari akan tiba ketika kami tidak dapat membayar tagihan kami kecuali Kongres menaikkan plafon utang," kata Yellen dalam program tersebut, Minggu, (7/5/2023), sebagaimana diwartakan CNBC International.

"Itu adalah sesuatu yang saya sangat mendesak Kongres untuk melakukannya," tegasnya.

Lalu apa dampaknya ke Indonesia?

Secara langsung kondisi di AS berdampak pada pasar keuangan Indonesia. Misalnya saja IHSG yang sejauh ini masih belum mampu menembus level 7.000 lagi dan geraknya bisa dikatakan volatil karena kekhawatiran investor.

Di sisi lain, rupiah malah menguat karena krisis perbankan membuat indeks dolar turun signifikan sehingga membuat rupiah menguat.

Selain itu dari dalam negeri, data cadangan devisa (Cadev) bisa mempengaruhi pergerakan rupiah.


Pada bulan lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Maret 2023 adalah sebesar US$ 145,2 miliar, naik US$ 4,9 miliar dari Februari. Cadev tersebut sudah naik lima bulan beruntun dengan total US$ 15 miliar, dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar.

Kenaikan Cadev artinya BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak. Stabilitas rupiah menjadi penting bagi investor asing untuk masuk ke pasar saham Indonesia, sebab risiko kerugian kurs menjadi bisa diminimalisir.

Nah selain pasar uang, aktivitas perdagangan Indonesia juga bisa keganggu. Terutama ekspor produk Indonesia ke AS.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),  nilai ekspor Indonesia pada Maret 2023 mencapai USD 23,50 miliar atau naik 9,89 persen dibanding ekspor Februari 2023. Dibandingkan, Maret  2022, nilai ekspor turun 11,33 persen. Adapun ekspor nonmigas ke Amerika Serikat termasuk terbesar. Tercatat ekspor nonmigas Maret 2023 ke Amerika Serikat mencapai USD 1,97 miliar.

Jadi, kondisi ekonomi AS yang carut marut ada plus dan minusnya. Sehingga investor harus senantiasa mencermati pasar dengan seksama dan waspada di tengah kondisi ekonomi yang labil ini.


Mau tahu prospek strategi trading saham selengkapnya? Upgrade jadi VIP member untuk menikmati semua fitur Emtrade.

Upgrade jadi VIP member untuk menikmati semua fitur Emtrade. Dengan menjadi VIP member, kamu bisa menikmati trading signal, referensi saham, konten edukasi, analisis, research report, tanya-jawab saham intensif, morning dan day briefing, dan seminar rutin setiap akhir pekan. Klik di sini untuk upgrade menjadi VIP member Emtrade.


Bagikan
whatsapp
Facebook
Twitter
linkedin
telegram
Artikel Lainnya
Video Populer
logo-emtrade

Aplikasi edukasi saham, bisa tanya jawab, dapat referensi saham, praktis, membuatmu bisa langsung praktek

Instagram
Youtube
Tiktok
Twitter
Facebook
Spotify
Telegram
Download Aplikasi
appstoreplaystore

Terdaftar dan Diawasi

logo-ojkIzin Usaha Penasihat Investasi : S-34/D.04/2022
kominfoTanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik Nomor :002568.01/DJAI.PSE/04/2022

© 2024, PT Emtrade Teknologi Finansial

Syarat & KetentutanKebijakan Privasi