Insight
Teknikal
Pemula
Fundamental
Psikologi Trading
Manajemen Risiko
Perencanaan Keuangan
Emtradepedia
premium-iconInsight

Keruntuhan SVB: Apa yang Sebenarnya Terjadi dan Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?

17 Mar 2023, 14:39 WIB
Bagikan
whatsapp
Facebook
Twitter
linkedin
telegram
banner-image

Kabar ambruknya Silicon Valley Bank telah menggemparkan industri keuangan dan perbankan global, khususnya Amerika Serikat (AS) selama beberapa hari terakhir. Hal tersebut terjadi hanya dalam waktu singkat, yaitu 48 jam setelah bank pengucur modal startup itu mengalami krisis modal. Alhasil direspons negatif oleh penurunan harga sahamnya yang lebih dari 60% dan saat ini sedang tersuspensi.


Lantas, apa yang sebenarnya terjadi dengan SVB? Apakah dampak buruknya akan merambat hingga ke dalam negeri? Berikut pembahasannya.

Cerita di Balik Keruntuhan SVB

Kebangkrutan SVB terjadi karena mismanagement dan juga kebijakan The Fed yang terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Adapun aksi money printing saat masa pandemi dan Fed rate yang near zero menyebabkan likuiditas yang berlebihan. Di mana DPK (dana pihak ketiga) naik signifikan, sedangkan bank tidak bisa menyalurkan kredit dengan cepat. 


Rasio loan to deposit (LDR) SVB hanya sekitar 40%. Sehingga excess likuiditas itu harus dipindahkan ke instrumen obligasi. Namun, karena suku bunga naik, otomatis harga obligasi yang dipegang oleh bank-bank tersebut mulai mengalami penurunan secara terus-menerus. 


Sementara itu DPK yang tadinya dimasukkan ke dalam bank ini mulai ditarik oleh nasabah untuk dipindahkan ke instrumen obligasi. Alasannya karena yield yang ditawarkan lebih menarik dibandingkan deposito (bunga deposito near zero).


Alhasil SVB harus menanggung kerugian di obligasi yang sangat besar karena kebutuhan likuiditas dari DPK yang terus ditarik oleh nasabah. Akibatnya, kerugian ini menggerus rasio permodalan sehingga bank perlu melakukan penambahan modal.


Saat inilah panik mulai terjadi. Semakin banyak nasabah yang menarik DPK- nya dari bank sampai akhirnya SVB tidak memiliki likuiditas yang cukup dan harus di bail out oleh FDIC dan The Fed.

Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?

Melihat hal tersebut, banyak yang bertanya-tanya apakah Indonesia akan terkena imbasnya atau tidak. Perlu diketahui, direct impact ke Indonesia bisa dikatakan hampir tidak ada. Walaupun dalam jangka pendek pasti akan ada kekhawatiran di capital market yang akhirnya menjadi sentimen negatif, ini adalah hal yang sangat wajar.


Kondisi seperti ini justru memberikan opportunity. Risk-reward nya menjadi sangat menarik. Kenapa? Pertama, dari sisi makro, kebijakan The Fed yang agresif sudah mulai memicu rentetan credit event di AS, salah satunya itu SVB. 


Nah, dengan krisis di sektor keuangan ini, The Fed akan dihadapkan dengan pilihan yang cukup sulit. Antara menyelamatkan sektor keuangannya dengan cara berhenti menaikkan suku bunga atau malah potong bunga dan mulai quantitative easing (QE) lagi. Risikonya adalah dolar akan melemah terhadap mata uang lain dan juga terhadap harga-harga komoditas serta inflasi akan tetap tinggi. Namun jika tetap menahan suku bunga di level yang tinggi, maka akan terjadi krisis ekonomi di AS seperti tahun 1928.


Kita punya pandangan bahwa The Fed akan memilih opsi yang pertama. Sebab jika sektor keuangan dibiarkan hancur, besar kemungkinan sektor riil juga akan terpengaruh. Mulai dari kredit perbankan akan terhenti, banyak terjadinya gagal bayar, hingga kenaikan tingkat pengangguran. Di mana tugas The Fed bukan hanya menjaga inflasi yang rendah, tapi juga menjaga pengangguran yang rendah.


Maka dengan langkah The Fed yang menurunkan suku bunga, harga-harga komoditas akan menguat terhadap dolar. Di sisi lain Indonesia sebagai salah satu produsen komoditas terbesar dunia juga akan diuntungkan dari segi trade balance yang surplus, rupiah stabil dan menguat, yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat Indonesia.

Posisi Indonesia Cukup Sehat dan Sangat Diuntungkan

Jadi sebenarnya, posisi Indonesia saat ini cukup sehat dan sangat diuntungkan. Sehingga investor tidak perlu panik berlebihan. Beberapa data makro Indonesia yang supportive:

  • Government deficit kembali dibawah 3% seperti sebelum Covid-19. Konsekuensinya, Indonesia tidak terlalu membutuhkan dana asing masuk terlalu banyak untuk menutupi defisit APBN.

  • Current account surplus sudah 3 tahun berturut-turut. Berbeda dengan krisis 2008 dan 2020 yang mana current account deficit-nya sekitar 2 - 3%.

  • Rupiah yang stabil karena current account surplus ini akan membantu menjaga inflasi.

Prospek Sektor Perbankan di Indonesia

Lalu akhir-akhir ini ada berita mengenai Credit Suisse yang sahamnya sudah drop 96% dari puncaknya. Bagaimana prospek mengenai sektor bank di Indonesia?


Kondisi bank di Indonesia jauh berbeda dibandingkan bank AS dan Eropa. Current account ratio (CAR) sangat tinggi >25%, sedangkan bank AS dan Eropa sekitar 12 – 15%. Dari segi kapitalisasi sudah jauh lebih sehat.


Selain itu likuiditas juga sangat sehat. LDR masih rendah (<90%) dan Bank Indonesia (BI) juga proaktif dalam hal memberikan bantuan likuiditas berupa repo kepada bank-bank yang membutuhkan.


Kondisi yang sehat ini tidak hanya berlaku untuk bank-bank besar saja. Banyak bank-bank kecil yang baru beberapa waktu lalu meningkatkan permodalan, sesuai dengan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang meminta agar bank memiliki modal minimum Rp3 triliun.

Naiknya modal ini tentu akan meminimalisir risiko likuiditas


Beberapa hari terakhir saham-saham bank kecil menengah mengalami koreksi yang paling banyak karena sentimen negatif. Akan tetapi dari segi operasional belum terlihat ada pengaruhnya.


Kesimpulannya, kejatuhan SVB beserta bank lain di AS seperti Silvergate dan Signature Bank, serta kekhawatiran akan Credit Suisse tidak berdampak langsung ke Indonesia karena prioritas bank sentral kemungkinan besar menyelamatkan bank yang jatuh terlebih dahulu dengan bailout.. Malah akan menjadi keuntungan bagi Indonesia sejalan dengan kondisi perbankan nasional yang kuat dan prospek harga komoditas naik sebagai respon pelonggaran kebijakan bank sentral. 


Walaupun begitu, dalam jangka pendek pasti akan ada kekhawatiran di capital market, jadi sentiment negative dan itu sangat wajar. Kita perlu mengantisipasi saja pergerakan pasar yang akan lebih volatile. Namun, untuk investasi ini malah bisa jadi peluang di saham-saham berfundamental baik yang masih terdiskon. 


Mau belajar trading dan investasi saham secara praktis? Yuk upgrade ke VIP member Emtrade. 


Upgrade jadi VIP member untuk menikmati semua fitur Emtrade. Dengan menjadi VIP member, kamu bisa menikmati konten edukasi, analisis, research report, tanya-jawab saham intensif, referensi saham, morning dan day briefing, dan seminar rutin setiap akhir pekan.


Klik di sini untuk upgrade menjadi VIP member Emtrade.


Ellen May


emtrade.id/disclaimer

Setiap saham yang dibahas menjadi case study, edukasi, dan bukan sebagai perintah beli dan jual. Trading dan investasi saham mengandung risiko yang menjadi tanggung jawab pribadi. Emtrade tidak bertanggung jawab atas setiap risiko yang mungkin muncul. 
Bagikan
whatsapp
Facebook
Twitter
linkedin
telegram
Artikel Lainnya
ArtikelInsight

HRUM Makin Fokus ke Nikel, Diproyeksikan Bisa Dorong Laba Bersih Naik 33% di 2024

27 Mar 2024, 13:44 WIB
article
ArtikelInsight

ASSA Bidik Pendapatan Rp4,8 Triliun Selama 2024, Apa Pendorongnya?

6 Mar 2024, 13:30 WIB
article
ArtikelInsight

Harga Emas Sentuh ATH, Sahamnya Bakal Berkilau?

5 Mar 2024, 14:21 WIB
article
ArtikelInsight

Unboxing Saham Terkait Program Prabowo-Gibran, Seberapa Diuntungkan?

16 Feb 2024, 16:33 WIB
article
Video Populer
logo-emtrade

Aplikasi edukasi saham, bisa tanya jawab, dapat referensi saham, praktis, membuatmu bisa langsung praktek

Instagram
Youtube
Tiktok
Twitter
Facebook
Spotify
Telegram
Download Aplikasi
appstoreplaystore

Terdaftar dan Diawasi

logo-ojkIzin Usaha Penasihat Investasi : S-34/D.04/2022
kominfoTanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik Nomor :002568.01/DJAI.PSE/04/2022

© 2024, PT Emtrade Teknologi Finansial

Syarat & KetentutanKebijakan Privasi