Insight
Teknikal
Pemula
Fundamental
Psikologi Trading
Manajemen Risiko
Perencanaan Keuangan
Emtradepedia
premium-iconInsight

Cukai Rokok Naik 10% Tahun Depan, Begini Prospek Saham Rokok

4 Nov 2022, 16:42 WIB
Bagikan
whatsapp
Facebook
Twitter
linkedin
telegram
banner-image
Masa depan industri rokok tanah air yang sudah terjungkal dalam tiga tahun terakhir sesungguhnya terasa makin terjal seiring dengan pernyataan Sri Mulyani yang kembali menetapkan tarif cukai rokok di tahun 2023 dan 2024.

Beberapa hari yang lalu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan secara resmi sepakat untuk kembali menambah tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) rata-rata sebesar 10% pada 2023 dan 2024. Lebih terperinci, kenaikan tarif CHT akan bervariasi tergantung pada golongannya.

Misalnya, untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM), kenaikan untuk golongan I dan II berada di rentang 11,5% hingga 11,75%. Di segmen Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan I dan II, rentang kenaikannya berkisar di rentang 11%-12%. Terakhir, untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan I,II, dan III akan berkisar di 5% atau lebih rendah dari kenaikan dua segmen sebelumnya.

Alhasil,  rerata tingkat kenaikan CHT sebesar 10% atau lebih rendah dari 12% pada 2022, 12,5% pada 2021, dan 23%  pada 2020.

Kebijakan pengontrolan jumlah perokok secara agresif ini dinilai benar-benar akan memberikan dampak kelam bagi prospek sektor industri tanah air dalam dua tahun kedepan. Alasannya cukup simple: saat cukai rokok naik, maka marjin perusahaan rokok akan terdegradasi. Sementara agar marjin perusahaan tetap solid, perusahaan biasanya akan meneruskan kenaikan cukai rokok ke konsumen melalui kenaikan harga jual (Averaging Selling Price/ASP).


Namun, kenaikan harga secara agresif hanya akan membuat omset makin kolaps. Makin mahalnya harga rokok juga membuat pangsa pasar raksasa rokok di Indonesia akan anjlok. Dan ini sudah dirasakan bagi industri rokok tanah air sejak tahun 2020 lalu, dan kemungkinan besar akan kembali menggerogoti kembali prospek kinerja emiten rokok di 2022 hingga 2023 mendatang.

Alasan Cukai Rokok Menakutkan Emiten


Jadi gini. Bisnis rokok itu sebenarnya murah karena bahan bakunya hanyalah tembakau dan kertas karton biasa. Namun karena sifat bisnisnya dianggap bikin candu dan memberikan efek samping yang negatif, pemerintah akhirnya membebankan tarif cukai yang tidak lain berfungsi untuk mengontrol konsumsi rokok terlalu agresif terutama bagi kalangan generasi muda.

Cukai rokok inilah yang membuat beban produksi semakin tinggi, bahkan mendominasi keseluruhan beban produksi. Sebagai catatan, dari 100% beban produksi rokok GGRM, beban cukai memberikan sumbangsih mencapai 83% sampai selama Januari-September 2022. Begitu juga HMSP yang 70% dari beban produksinya merupakan komponen pita cukai. 

Maka dari itulah, naik turunnya beban cukai menjadi sorotan paling horor bagi pelaku industri tembakau hingga pemegang saham  terhadap prospek bisnis rokok di Indonesia. Semakin tinggi cukai, maka akan semakin mencekik beban produksi masing-masing perusahaan tembakau. Karena dengan cukai yang semakin mahal, pangsa pasar akan menyusut hingga membuat omset penjualan rokok akan semakin lesu.

Ambil contoh PT. Gudang Garam Tbk (GGRM). Meski penjualan dalam rentang 2017 hingga 2021 mencatatkan rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 10,6% per tahun, namun laba kotor justru terjerembab -5,92%. Penurunan laba kotor ini seiring dengan menurunnya kualitas marjin kotor GGRM yang secara sadis turun dari 21,9% di 2017 menjadi 11,4% di 2021.

Figure 1: Tren Kinerja GGRM 2017-2021



Sumber: GGRM, diedit tim Emtrade Research

Lebih sadis, raksasa rokok jenis Mild PT. HM Sampoerna Tbk (HMSP) mengalami degradasi kinerja yang lebih brutal. Di periode 2017-2021, rata-rata pertumbuhan tahunan penjualan tercatat turun -0,05%. Laba kotor pun ikut melandai -8,57%. Jika margin kotor HMSP berada di 24,4% tahun 2017, pada tahun 2021 hanya tersisa 17,1%.

Figure 2: Tren Kinerja HMSP 2017-2021



Sumber: HMSP, diedit tim Emtrade Research


Fenomena kenaikan tarif cukai secara agresif sejak 2020 lalu juga telah memporak-porandakan saham sektor rokok yang sempat menjadi primadona bagi investor di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Tahun 2019, GGRM sempat diperdagangkan di level 90.000. Kini, GGRM harus puas ditransaksikan dibawah level 25.000. Begitu juga dengan HMSP yang saat ini ditransaksikan di level dibawah 1000 meski sempat dihargai premium di atas level 4000.

Figure 3: Kinerja saham HMSP dan GGRM 2018-2022



Sumber: tradingview

Ini artinya, dalam waktu tiga tahun saja investor yang berinvestasi di industri rokok di Indonesia sudah lebih miskin 72% hingga 75% karena dampak dari kebijakan cukai rokok. Dan kemungkinan besar, tren penurunan akan kembali terjadi di dua tahun mendatang.

Kini dengan adanya penerapan cukai rokok kembali di 2023 dan 2024, pelaku pasar kembali dihantui skenario penurunan yang sama dengan apa yang terjadi pada kinerja saham sejak tahun 2019. Jika harga saham bisa turun di atas 50% pada periode 2020-2022, maka bukanlah tidak mungkin jika risiko penurunan saham yang agresif akan kembali terjadi bagi saham sektor rokok di tahun mendatang.

Bukan hanya itu, kebijakan kenaikan cukai rokok di tahun 2024 sebenarnya juga cukup mengejutkan pelaku pasar mengingat umumnya tarif cukai rokok cenderung tidak naik di momentum adanya Pemilihan Umum (Pemilu). Adanya penerapan cukai rokok di tahun 2024 tentunya menjadikan efek “black swan” bagi pelaku industri rokok yang sebelumnya menganggap bisa bernafas lega di tahun tersebut.

Sebagai penutup, sektor rokok secara teoritis seharusnya sudah layak menyemat saham undervalued mengingat valuasinya yang cenderung atraktif pasca penurunan secara agresif selama beberapa tahun terakhir. Saham GGRM contohnya yang secara mengejutkan menawarkan harga saham dibawah nilai bukunya saat ini.

Namun, kebijakan penerapan cukai di 2023 dan 2024 tampaknya membuat ruang downside bagi saham HMSP, GGRM, WIIM, dan lainnya kembali terbuka lebar dibanding potensi upside-nya. Apalagi, konsumsi masyarakat diprediksi sedikit menyusut imbas naiknya harga BBM yang telah mendorong inflasi lebih tinggi dalam beberapa bulan terakhir.

Demikianlah ulasan prospek nasib saham rokok di Indonesia dalam dua tahun kedepan versi analis Emtrade, terutama pasca naiknya tarif cukai rokok di tahun 2023 hingga 2024.

Lalu, bagaimana strategi trading saham rokok? yuk upgrade jadi VIP member Emtrade. 

Upgrade jadi VIP member untuk menikmati semua fitur Emtrade. Dengan menjadi VIP member, kamu bisa menikmati konten edukasi, analisis, research report, tanya-jawab saham intensif, referensi saham, morning dan day briefing, cryptoclass, dan seminar rutin setiap akhir pekan.

Klik di sini untuk upgrade menjadi VIP member Emtrade.

-WS-


emtrade.id/disclaimer

Setiap saham yang dibahas menjadi case study, edukasi, dan bukan sebagai perintah beli dan jual. Trading dan investasi saham mengandung risiko yang menjadi tanggung jawab pribadi. Emtrade tidak bertanggung jawab atas setiap risiko yang mungkin muncul.




Bagikan
whatsapp
Facebook
Twitter
linkedin
telegram
Artikel Lainnya
ArtikelInsight

Update Data Makro: Inflasi AS & China dan IKK Indonesia, Apa Implikasinya?

13 Mar 2024, 15:55 WIB
article
ArtikelInsight

Keluar dari MSCI, Indeks FTSE Siap Tampung CUAN

19 Feb 2024, 14:10 WIB
article
ArtikelInsight

Kembangkan Bisnis FTTH, ISAT Akuisisi Pelanggan MNC Play

21 Nov 2023, 12:01 WIB
article
ArtikelInsight

Adu Kinerja Marketing Sales Emiten Properti di Kuartal III/2023, Siapa Juaranya?

24 Okt 2023, 17:14 WIB
article
Video Populer
logo-emtrade

Aplikasi edukasi saham, bisa tanya jawab, dapat referensi saham, praktis, membuatmu bisa langsung praktek

Instagram
Youtube
Tiktok
Twitter
Facebook
Spotify
Download Aplikasi
appstoreplaystore

Terdaftar dan Diawasi

logo-ojkIzin Usaha Penasihat Investasi : S-34/D.04/2022
kominfoTanda Daftar Penyelenggara Sistem Elektronik Nomor :002568.01/DJAI.PSE/04/2022

© 2024, PT Emtrade Teknologi Finansial

Syarat & KetentutanKebijakan Privasi