Pada 2 April 2025, Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang disebut sebagai Trump Liberation Day Tarif. Apa sih inti dari kebijakan Trump mengenai Liberation Day Tarif itu? Apa pengaruhnya ke Indonesia? Mari kita bahas satu per satu.
<h3 dir="ltr">Isi Kebijakan Trump Liberation Day Tarif</h3>
Kebijakan ini mencakup dua poin utama:
<ol>
<li dir="ltr">
Tarif dasar 10% untuk semua impor ke Amerika Serikat.
</li>
<li dir="ltr">
Tarif tambahan 20-60% untuk negara-negara dengan surplus perdagangan besar terhadap Amerika Serikat. Tarif ini disebut sebagai tarif timbal balik (reciprocal tariff). Negara-negara yang terkena dampak terbesar antara lain China, Vietnam, Jepang, Uni Eropa, dan Indonesia.
</li>
</ol>
Perhitungan tarif ini cukup kontroversial. Sebagai contoh, Indonesia dikenakan tarif 32%, tetapi angka ini dihitung dengan cara yang tidak biasa. Tarif ini bukan berdasarkan pajak impor aktual, melainkan dari rasio defisit perdagangan Amerika Serikat terhadap ekspor negara tersebut ke Amerika.
<h3 dir="ltr">Mengapa Trump Menaikkan Tarif?</h3>
Ada beberapa alasan utama di balik kebijakan ini:
<ol>
<li dir="ltr">
Mengurangi defisit perdagangan Amerika, terutama dengan China.
</li>
<li dir="ltr">
Melindungi industri dalam negeri dan tenaga kerja Amerika dengan menekan impor dan mendorong produksi dalam negeri.
</li>
<li dir="ltr">
Membuka akses pasar luar negeri untuk produk Amerika dengan cara menekan negara lain agar lebih banyak membeli produk AS.
</li>
<li dir="ltr">
Memaksa perusahaan asing untuk berinvestasi dan membangun pabrik di Amerika Serikat, bukan hanya mengekspor barang.
</li>
</ol>
Namun, kebijakan ini menuai banyak kritik karena dianggap bisa merugikan Amerika dalam jangka panjang.
<h3 dir="ltr">Risiko Bagi Amerika</h3>
Meskipun kebijakan ini terlihat patriotik, dampaknya bisa merugikan ekonomi Amerika sendiri:
<ol>
<li dir="ltr">
Menurunnya daya saing industri dalam negeri karena kurangnya kompetisi.
</li>
<li dir="ltr">
Perang dagang dengan negara lain, yang bisa membalas dengan tarif serupa.
</li>
<li dir="ltr">
Harga barang impor yang lebih mahal, menurunkan daya beli masyarakat.
</li>
<li dir="ltr">
Bisnis yang tergantung pada impor bisa bangkrut, meningkatkan angka pengangguran.
</li>
<li dir="ltr">
Potensi perlambatan ekonomi global, yang bisa menekan pertumbuhan ekonomi Amerika.
</li>
</ol>
Sejarah membuktikan bahwa kebijakan tarif tinggi sering kali membawa dampak negatif. Pada era Great Depression 1930-an, tarif Smoot-Hawley justru memperparah krisis ekonomi Amerika. Tarif tinggi itu mungkin terlihat heroik, tapi sebenarnya bisa mengorbankan kemakmuran jangka panjang buat Amerika sendiri, demi kepentingan politik Donald Trump
<h3 dir="ltr">Dampak Bagi Global dan Indonesia</h3>
1. Potensi Perang Dagang Internasional
Negara-negara yang dikenai tarif tinggi kemungkinan besar akan membalas dengan kebijakan serupa. Hal ini dapat memicu siklus perang dagang, yang akan menghambat perdagangan global dan meningkatkan ketidakpastian ekonomi.
2. Ketidakpastian di Pasar Keuangan Global
Tarif yang lebih tinggi memicu kekhawatiran investor global, menyebabkan gejolak di pasar saham. Misalnya, bursa saham AS sempat mengalami koreksi, terutama pada saham perusahaan yang sangat bergantung pada impor, seperti Apple dan Nike.&nbsp;
3. Gangguan Rantai Pasokan Internasional
Biaya logistik dan produksi naik akibat kebijakan ini, terutama di sektor teknologi, otomotif, dan manufaktur. Perusahaan yang memiliki rantai pasok global akan menghadapi tantangan besar dalam mengelola biaya dan efisiensi produksi.
4. Dampak pada Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Kenaikan tarif berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatkan inflasi. Jika inflasi terus naik, Federal Reserve (The Fed) kemungkinan akan menunda penurunan suku bunga yang sebelumnya direncanakan dua kali tahun ini. Hal ini dapat mengurangi katalis positif bagi pasar saham.
Indonesia termasuk dalam daftar negara yang terkena tarif tinggi, dengan tarif 32% terhadap ekspor ke Amerika. Sektor-sektor yang paling terdampak antara lain:
<ul>
<li dir="ltr">
Tekstil
</li>
<li dir="ltr">
Elektronik
</li>
<li dir="ltr">
Karet dan alas kaki
</li>
</ul>
Namun, Indonesia masih diuntungkan karena berdasarkan data ekspor hingga Desember 2024 Indonesia lebih banyak mengekspor ke China dibandingkan ke Amerika Serikat. Jumlah expor mencapai 6,03 miliar USD, jauh lebih besar dibandingkan ekspor ke Amerika yang hanya 2 miliar USD.
<h3 dir="ltr">Keanehan dalam Kebijakan Tarif Trump</h3>
Yang menarik, beberapa wilayah yang tidak memiliki penduduk, seperti Bouvet Island, McDonald Island, dan Antartika, juga dikenakan tarif. Ini terjadi karena Trump menggunakan metode perhitungan tarif berdasarkan surplus dagang, bukan transaksi perdagangan riil.
Sebaliknya, Rusia dan Belarus justru tidak terkena tarif. Alasannya:
<ol>
<li dir="ltr">
Sudah dikenai sanksi ekonomi lebih dulu, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.
</li>
<li dir="ltr">
Volume perdagangan dengan Amerika menurun drastis, sehingga dampaknya kecil.
</li>
<li dir="ltr">
Trump menargetkan negara dengan surplus perdagangan besar, sementara Rusia dan Belarus tidak masuk dalam kategori ini.
</li>
</ol>
Juga dalam persoalan perhitungan tarif. Angka-angka tarif dalam daftar yang disah-kan oleh Trump sebenarnya tidak benar-benar mencerminkan tarif impor atau hambatan perdagangan non-tarif yang dikenakan suatu negara. Orang yang membuat daftar tarif itu tidak menghitung tarif impor secara nyata. Mereka cuma menghitung : Defisit perdagangan AS terhadap suatu negara, lalu membaginya dengan nilai ekspor negara tersebut ke AS.
<img src="https://prod-emtrade.s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/content/G2025-04-04T13:56:54_whatsapp_image_2025-04-03_at_06.02.49.jpeg" width="1600" height="1208" alt="">
Contohnya:
<ul>
<li dir="ltr">
AS mengalami defisit perdagangan $17.9 miliar dengan Indonesia.
</li>
<li dir="ltr">
Indonesia mengekspor $28 miliar ke AS.
</li>
<li dir="ltr">
Lalu dihitung: $17.9 / $28 = 64%, dan angka ini dianggap sebagai &ldquo;tarif&rdquo; Indonesia terhadap AS, padahal ini bukan tarif sungguhan.
</li>
</ul>
Contoh lain:
<ul>
<li dir="ltr">
Vietnam ekspor ke AS $136.6 miliar, impor dari AS cuma $13.1 miliar.
</li>
<li dir="ltr">
Defisit perdagangan AS = $123.5 miliar.
</li>
<li dir="ltr">
123.5 / 136.6 = 90%, dan dianggap &ldquo;tarif&rdquo; Vietnam
</li>
</ul>
Jika hal ini dijadikan dasar kebijakan bisa menciptakan persepsi yang keliru dan memecu tindakan perdagangan trade war balasan yang tidak berdasar juga. Tarif itu semestinya dihitung dari berapa persen bea masuk yang dikenakan suatu negara terhadap produk luar negeri, bukan dari selisih perdagangan.&nbsp;
<h3 dir="ltr">Kesimpulan dan Strategi Investor</h3>
<ol>
<li dir="ltr">
Jangan panik, kebijakan seperti ini adalah siklus yang sudah pernah terjadi sebelumnya. Pada masa pemerintahan Trump periode pertama, kebijakan serupa juga diterapkan.
</li>
<li dir="ltr">
Gunakan sentimen ketidakpastian ini untuk belajar dan meningkatkan strategi investasi.
</li>
<li dir="ltr">
Fokus pada investasi jangka panjang, terutama di sektor yang memiliki fundamental kuat, seperti perbankan dengan menggunakan strategi Dollar Cost Averaging (DCA)
</li>
<li dir="ltr">
Money Management, start small, uang dingin dari modal yang kecil dulu dengan nominal dan profil risiko yang kamu siap.
</li>
<li dir="ltr">
Diversifikasi, jangan terpaku pada satu instrumen saja, harus bisa menyesuaikan dengan kondisi global, baik itu di saham, emas, obligasi, bahkan deposito. Kenapa? Karena orang-orang kaya di luar sana rumusnya diversifikasi dan bukan all in, mereka sangat berhati-hati menjaga asetnya.
</li>
</ol>
Ketidakpastian di pasar memang sering terjadi, tetapi sejarah menunjukkan bahwa pasar selalu menemukan cara untuk bangkit. Bagi investor, memahami dampak kebijakan ini dan beradaptasi dengan strategi yang efektif akan menjadi kunci dalam menghadapi era baru perdagangan global di bawah Trump versi kedua.
Mau belajar investasi saham dengan strategi yang efektif? Yuk, daftar di Emvestart, webinar saham untuk pemula bersama pakar saham Ms Ellen May.
Klik di sini untuk daftar dan informasi selengkapnya <a href="https://emvest.id/blog" target="_blank" rel="noopener">(emvest.id/blog)</a>

Perang Tarif Donald Trump, Kita Sebaiknya Gimana?

Investasi Saham BBRI Sekarang, Kenapa Harus Punya?

Yuk yang masih banyak pertanyaan soal BBRI, di video berikut Ms. Ellen May akan berbagi insight alasan kenapa saham BBRI masih menarik buat dibeli sekarang. 

Yuk yang masih banyak pertanyaan soal BBRI, di video berikut Ms. Ellen May akan berbagi insight alasan kenapa saham BBRI masih menarik buat dibeli sekarang. Klik dan tonton videonya sampai selesai ya!

Fee Sekuritas Beli Jual Saham, Mana yang Murah?

Mau mulai investasi saham? Sekuritas mana yang menawarkan fee murah? Temukan jawabannya di video ini!

Battle sekuritas saham di Indonesia, mana yang murah?

Cara Pilih Sekuritas Saham Terbaik

Fee Sekuritas Saham, Mana Paling Murah?

Siap terjun ke dunia saham? Sebelum serbu beli saham, kamu harus tau dulu dong gimana caranya pilih sekuritas yang oke punya. Perusahaan sekuritas itu kayak gatekeeper-mu ke pasar saham. Gimana cara pilihnya? Tonton di sini!

Scalping, Swing Trading, Super Trader: Mana yang Terbaik?

Strategi scapling, swing trading dan super trader, kapan sih timing yang pas buat pakai ketiganya dalam saham?

Cara Scalping Saham, Swing dan Super Trader yang Benar dan Kapan Waktu Terbaiknya?

﻿﻿Pilih scalping saham, swing trading atau super trader.&nbsp; Mau ganti strategi trading tapi nggak tau timing-nya? Bosen dengan pilihan saham yang itu-itu aja?Di video kali ini, Ms. Ellen May, Found...