Dini hari lalu (03/11), Bank sentral Amerika Serikat atau yang biasa disebut The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan mereka sebesar 75 bps, membuat suku bunga AS saat ini berada di angka 3,75%-4,0%. Kenaikan tersebut merupakan kenaikan 75 bps yang ke 4 secara berturut-turut, mengindikasikan bahwa The Fed dalam keadaan hawkish atau memiliki kecenderungan mengetatkan kebijakan moneternya yang biasanya direspon negatif oleh pelaku pasar modal.
Bersamaan dengan rilis suku bunga
tersebut Jerome Powell, Gubernur Fed mengungkapkan bahwa era kenaikan suku
bunga belum berakhir, di mana data ekonomi saat ini mensinyalkan potensi puncak
suku bunga yang lebih tinggi dari yang sebelumnya diperkirakan pejabat The Fed
pada rapat FOMC bulan september. Meski demikian, Powell memberikan sinyal bahwa
Fed dapat menurunkan kenaikan suku bunga kedepan.
Analis Memperkirakan Suku Bunga AS Mencapai Puncak di Bulan Maret
Survey Bloomberg memperlihatkan bahwa ekonom memperkirakan kenaikan suku bunga AS akan mulai melambat pada FOMC meeting bulan Desember mendatang dengan puncak suku bunga pada 5% di Bulan Maret 2023 (vs sekarang di 4,0%). Analis memproyeksikan suku bunga AS akan meningkat 50bps saja pada FOMC bulan Desember mendatang dan diikuti oleh kenaikan 25 bps di 2 rapat berikutnya, kemudian akan flat beberapa bulan untuk setelahnya suku bunga akan diturunkan.
Sehingga perkiraannya, masyarakat
global masih akan merasakan suku bunga AS yang meningkat untuk beberapa bulan
kedepan, meskipun dengan kenaikan yang relatif lebih kecil. Tetapi perlu diperhatikan jugah bahwa skenario
tersebut dapat berubah, terutama ketika inflasi AS tidak kunjung mereda.
Potensi Resesi AS,
Masih Mungkinkah Terjadi?
Data produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat kuartal 3 tahun ini menunjukan pertumbuhan baik secara kuartalan maupun tahunan. Secara kuartalan (QoQ) PDB AS naik 2,6% sedangkan secara tahunan (YoY) naik 1,8%. Kondisi tersebut mengartikan bahwa ekonomi AS tidak berada pada keadaan resesi yang secara teknis PDB harus turun selama 2 kuartal berturut-turut.
Tapi apakah ekonomi AS masih bisa resesi? Menurut survey dari Bloomberg, 75% ekonom masih memperkirakan ekonomi AS dapat terjadi resesi dan 20% lainnya memperkirakan akan ada perlambatan ekonomi secara signifikan meskipun tidak menyebabkan resesi.
Apabila membandingkan antara ekonomi AS di tahun 1980 dan 2022 yang memiliki kondisi inflasi serupa, resesi relatif terjadi beberapa waktu setelah suku bunga memuncak. Kondisi serupa kemungkinan akan terjadi di tahun depan, mengingat dampak dari suku bunga kepada ekonomi relatif lagging.
Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
Ekonomi Indonesia merupakan salah
satu yang paling kuat di dunia, karena posisi Indonesia sebagai negara
komoditas dan pemulihan konsumsi masyarakat yang memiliki porsi dominan di
terhadap PDB. Emtrade telah bahas analisis lengkapnya di artikel yang berjudul Ekonomi Indonesia Tahan Banting, Kata Siapa akan Resesi? Ini Alasannya!
Skenario suku bunga AS yang mulai
mencapai puncaknya akan berdampak signifikan bagi ekonomi Indonesia berupa:
- Meredanya Penurunan Pupiah
Kondisi rupiah yang melemah 9,6% dari awal tahun merupakan
dampak dari kenaikan nilai dolar karena suku bunga AS yang meningkat. Potensi
suku bunga mencapai puncaknya tentu dapat mengapresiasi nilai tukar rupiah yang
akan relatif kuat. [figure 1]
- Suku Bunga BI Mulai Turun
Menguatnya nilai tukar rupiah tentu akan direspon dengan
kebijakan moneter BI yang lebih longgar, potensinya akan tercermin pada suku
bunga BI yang mulai mereda.
Secara historis, suku bunga Indonesia selama 7 tahun
terakhir memiliki rata-rata selisih 340 bps lebih tinggi dibandingkan suku
bunga AS. [figure 2] Sehingga
melambatnya kenaikan suku bunga AS akan memiliki korelasi positif terhadap
kenaikan suku bunga Indonesia.
- Konsumsi Masyakarat Terjaga
Longgarnya kebijakan moneter BI dengan potensi kenaikan
suku bunga yang mereda tentu juga akan direspon positif dengan potensi risiko
pertumbuhan konsumsi yang lebih kecil. Sehingga momen tersebut akan mendorong
potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih kuat.
- Beban Emiten Lebih Longgar, Kinerja akan Membaik
Melalui lingkungan dengan nilai tukar kuat, suku bunga
turun, serta konsumsi masyarakat yang terjaga. Kinerja keuangan emiten secara
umum tentu akan ada perbaikan, meskipun bertahap. Dimana nilai tukar rupiah
yang kuat akan menahan beban impor tidak naik, kenaikan suku bunga yang mereda
akan mengurangi beban bunga, serta konsumsi masyakarat yang terjaga akan
memudahkan emiten dalam memonetisasi peluang ekonomi.
- Risiko
Outflow
Meskipun
terdapat dampak positif terhadap ekonomi, peluang untuk investor asing
memindahkan dananya kembali ke AS cukup besar. Melihat valuasi dari saham-saham
di AS yang sudah terdiskon dan proyeksi ekonomi yang membaik seiring suku bunga
yang melambat.
Bagaimana strategi trading dan investasi dikala suku bunga tinggi? yuk upgrade menjadi VIP member Emtrade.
Upgrade jadi VIP member untuk menikmati semua fitur Emtrade. Dengan menjadi VIP member, kamu bisa menikmati konten edukasi, analisis, research report, tanya-jawab saham intensif, referensi saham, morning dan day briefing, cryptoclass, dan seminar rutin setiap akhir pekan.
Klik di sini untuk upgrade menjadi VIP member Emtrade.
-AVV-
Setiap saham yang dibahas menjadi case study, edukasi, dan bukan sebagai perintah beli dan jual. Trading dan investasi saham mengandung risiko yang menjadi tanggung jawab pribadi. Emtrade tidak bertanggung jawab atas setiap risiko yang mungkin muncul.
https://emtrade.id/blog/10024/kalau-suku-bunga-as-mereda-gimana-dampaknya-ke-indonesia
Update Data Makro: Inflasi AS & China dan IKK Indonesia, Apa Implikasinya?
Keluar dari MSCI, Indeks FTSE Siap Tampung CUAN
Kembangkan Bisnis FTTH, ISAT Akuisisi Pelanggan MNC Play
Adu Kinerja Marketing Sales Emiten Properti di Kuartal III/2023, Siapa Juaranya?
Aplikasi edukasi saham, bisa tanya jawab, dapat referensi saham, praktis, membuatmu bisa langsung praktek
Terdaftar dan Diawasi
© 2024, PT Emtrade Teknologi Finansial